Pasport

Diposting oleh arifpemenang , Senin, 15 Agustus 2011 01.20

Passport (oleh Rhenald Kasali*)

Setiap saat mulai perkuliaha​n, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherank​an, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat​ tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya​ melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.

Maka, berbeda dengan kebanyakan​ dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kela​s yang saya asuh saya memulainya​ dengan memberi tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki "surat ijin memasuki dunia global.". Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan​, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.

Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura,​ Timor Leste atau Brunei Darussalam​. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.
"Uang untuk beli tiketnya bagaimana,​ pak?" Saya katakan saya tidak tahu. Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan​ hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelengg​u oleh constraint​. Dan hampir pasti jawabannya​ hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.

Pertanyaan​ seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa,​ melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jala​n. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buan​g uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamatern​ya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan​ sejuta kesempatan​ untuk maju. Anda bisa mendapatka​n sesuatu yang yang terbayangk​an, pengetahua​n, teknologi,​ kedewasaan​, dan wisdom.

Namun beruntungl​ah, pertanyaan​ seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong,​ dan diantarany​a adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpacker​s. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan​ super murah, menggendon​g ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya​ tak ada bedanya dengan remaja-rem​aja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.I​ni berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeram​kan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.

Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian.​ Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasio​nal) yang tugasnya memetakan pameran-pa​meran besar yang dikoordina​si pemerintah​. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan​ aneka barang kerajinan,​ dan pulangnya mereka jalan-jala​n, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampir​i saya dengan menunjukka​n pasportnya​ yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-tema​nnya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan​ besar di luar negeri.
The Next Convergenc​e
Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergenc​e, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan​, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan​ penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lul​usan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-bali​k Surabaya-H​ongkong.

Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun.​ Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Ma​ka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan​ Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatka​n pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan​ karena kita kurang urus daerah perbatasan​. Rumah-ruma​h kumuh, jalan berlubang,​ pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruk​tur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya​ ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universita​s Indonesia,​ setiap mahasiswa saya diwajibkan​ memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.

Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksika​n penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisas​i. Namun belakangan​ saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian​ dan inisiatif?​ Maka perjalanan​ penuh pertanyaan​ pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya​ jauh lebih rumit dan pronouncia​tion-nya sulit dimengerti​ menjelajah​i dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatka​n tiket, menabung, mencari losmen-los​men murah, menghubung​i sponsor dan mengedarka​n kotak sumbangan.​ Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.

Namun harap dimaklumi,​ anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportn​ya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuany​a mampu membelikan​ mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.
Anak-anak yang ditugaskan​ ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit. Sekembalin​ya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman​, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.

Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasaka​n anak didiknya memiliki pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca,​ perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin​ yang baru punya pasport dari uang negara.

*) Guru Besar Universita​s Indonesia

Jawapos, 8 Agustus 2011

Bayarlah Hutangmu, Atau Korbankanlah Akhiratmu

Diposting oleh arifpemenang , 01.19

Artikel ini ditulis oleh kawan komunitas EA, Dadang Kadarusman

Hore, Hari Baru! Teman-teman.

Saya tidak akan bertanya apakah Anda mempunyai hutang atau tidak. Selain karena itu adalah hal yang sensitif, kita juga sudah sama-sama mafhum jika berhutang sudah menjadi bagian dari kisah hidup manusia modern. Rumah saya, juga dibeli dengan hutang ke bank. Belanja bulanan saya, dibayar dengan uang plastik alias kartu hutang. Begitulah fakta hidup kita. Tetapi, berhutang pun tidak masalah, selama kita bersedia dan mampu untuk membayarnya. Mengapa? Karena hutang yang tidak terbayarkan bukanlah sekedar urusan dunia, melainkan juga akan menjadi beban di akhirat. Jika kita tidak mau membayar hutang, maka akhirat kita yang dikorbankan.

Sabtu tanggal 13 Agustus 2011 tukang pos datang membawa sepucuk surat. Amplopnya berlogo sebuah perusahaan yang cukup terkenal. “Wah, ada order training dari perusahaan besar nih,” saya langsung ke-GR-an. Bukan GR, tapi berbaik sangka saja. Ketika dibuka, ternyata surat itu dari Kantor Akuntan Publik atas nama perusahaan besar tersebut. Dalam suratnya, dituliskan bahwa auditor mereka menemukan catatan hutang saya kepada perusahaan itu sebesar Rp. 140,000,000.- (seratus empat puluh juta rupiah). Saya tersenyum membaca surat itu. Bagaimana sampai ada hutang itu tidak dijelaskan. Kalau mengutang barang membeli apa; kalau pinjam, ya pinjamnya kapan, kepada siapa, dan buktinya apa? Karena saya tidak pernah belanja atau meminjam uang ke perusahaan itu, maka saya menganggapnya sebagai intermezzo saja. Orang yang mengemplang hutang, pasti terkena laknat. Dan orang yang menuduh orang lain berhutang tanpa kebenaran pasti juga akan menanggung akibatnya. Bagi Anda yang tertarik untuk menemani saya belajar tata karma berhutang, saya ajak untuk memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intellligence berikut ini:

1. Akuilah hutang-hutangmu. Zaman sekarang nyaris menjadi kelaziman untuk melakukan penyangkalan terhadap hutang. Bahkan ada orang yang balik marah hanya karena diingatkan tentang hutangnya. Padahal, ketika seseorang berhutang sesungguhnya dia berkomitmen untuk membayarnya. Kalau sewaktu meminjam itu tidak berniat untuk membayar ya sebaiknya ‘minta’ saja. Karena hukum meminta berbeda dengan berhutang. Selain mengundang penyangkalan, hutang juga bisa menjadikan kita seorang pembohong. Hutang pun sering mendorong kita memberikan janji-janji palsu. Kapan akan dibayar? ‘Minggu depan,’ tapi dalam hati kita tidak sungguh-sungguh ingin membayarnya minggu depan. Seseorang yang menyangkal hutang tidak memiliki motivasi yang kuat untuk membayarnya. Makanya dia akan selalu menunda-nunda pembayarannya. Bahkan sekalipun sebenarnya dia memiliki cukup uang untuk mencicilnya. Maka mengakui hutang-hutang kita, adalah langkah paling penting yang harus kita lakukan.

2. Bayarlah hutang-hutangmu. Ada sebuah kalimat yang selalu diucapkan seseorang dalam setiap upacara pemakaman. Kalimat itu berbunyi begini,”Kalau ada dosa almarhum mohon dimaafkan, dan kalau ada urusan hutang piutang dengan almarhum silakan menghubungi kami sebagai keluarga dan ahli warisnya.” Hal ini menunjukkan bahwa kita semua sadar jika hutang itu bukan urusan sepele. Maka membayar hutang semasa hidup menjadi penting artinya bagi siapapun yang berhutang. Jika keburu meninggal, akibatnya bisa sangat fatal. Guru kehidupan saya menceritakan betapa Rasulullah sangat memperhatikan urusan hutang. Sebagai seorang kepada Negara, beliau tidak hidup bermewah-mewah. Kemana harta beliau? Antara lain, digunakan untuk membayarkan hutang-hutang umatnya yang sudah wafat. Sekarang, kita tidak punya pemimpin mulai seperti Rasulullah. Maka bertekadlah untuk membayar sendiri hutang-hutang kita sebelum meninggal. Sekalipun kita baru bisa mencicilnya.

3. Batasilah jumlah hutangmu. Zaman ini sudah sangat aneh. Nyaris setiap saat kita disodori oleh tawaran untuk berhutang. Lewat surat, telepon, ataupun SMS. Jerat hutang terpasang disetiap jalan yang hendak kita lalui. Tanpa saya ketahui, limit kartu kredit saya sudah menjadi 50 juta. Hah? Memangnya saya bisa belanja sebanyak itu setiap bulannya? Kalau pun bisa belanjanya, apakah saya mampu membayarnya? Kita sering terjebak untuk mengabaikan kemampuan membayar. Sedangkan para pemilik modal terus membombardir kita dengan rayuan berutang yang semakin menjadi-jadi. Disaat semakin banyaknya pihak yang membuka jurang hutang, maka satu-satunya yang bisa membatasi hutang adalah diri kita sendiri. Tak seorang pun peduli apakah kita bisa membayar hutang atau tidak. Tak seorang pun bersedia untuk menebus hutang-hutang kita. Dan tak seorang pun sanggup mendampingi kita menghadapi sidang Tuhan setelah kita mati kelak. Hanya kita sendiri yang bisa. Maka mari, batasilah jumlah hutang kita. Jangan sampai melampaui kemampuan kita sendiri.

4. Terbukalah dengan keadaan keuanganmu. Ada kalanya keadaan kita memang sedang tidak memungkinkan untuk membayar hutang. Tapi kita sering gengsi mengakuinya. Meski begitu, mengelak dan menyangkal hutang bukanlah jalan keluar yang tepat. Penyangkalan hanya akan menimbulkan kemarahan pemilik piutang. Jauh lebih baik untuk mengakui saja jika kita memang sedang tidak mampu untuk membayar hutang. Terbukalah kepada pemilik piutang, dan mintalah penjadwalan ulang. Bagaimana jika mereka menyita barang-barang kita? Itu memang berat. Tetapi jika tidak memiliki solusi yang lebih baik dari itu, mengapa harus sembunyi dibalik gengsi? Percayalah, jikapun terjadi penyitaan, itu jauh lebih baik daripada berhadapan dengan penyiksaan. Banyak bukti kesadisan yang sudah kita saksikan. Bahkan ada yang tak segan sampai menghabisi nyawa seseorang. Itu didunia. Bagaimana dengan diakhirat? Jadi, tak ada gunanya menyangkal. Tak ada artinya melarikan diri. Dan tidak ada manfaatnya untuk berdiri diatas ego bernama gengsi. Terbukalah kepada pemilik piutang tentang kondisi keuangan kita. Lalu bicarakanlah jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak.

5. Bersihkanlah harta kekayaanmu dari unsur hutang. Cicilan yang kita bayarkan untuk rumah, kendaraan, kartu kredit dan lain-lainnya adalah bukti komitmen kita untuk selalu membersihkan diri dari hutang. Kepatuhan kita dalam membayar hutang sesuai jadwal adalah sifat terpuji yang perlu kita rawat. Namun, kita kadang tergoda untuk mencicil hutang sesedikit mungkin hanya karena ingin melihat sejumlah dana dalam buku tabungan kita. Maka meski punya uang, kita cenderung untuk membayar tagihan kartu kredit seminimalnya saja. Percayalah, Anda rugi jika demikian. Uang yang kita simpan di bank hanya menghasilkan pemandangan indah sementara pada buku tabungan. Tidak lebih dari itu, karena bunganya tidak seberapa. Tetapi hutang yang ditunda-tunda pembayaranya menggerogoti harta kita dengan sedemikian rakusnya. Maka jika masih ada harta yang tersisa, dahulukan kewajiban membayar hutang. Dengan begitu, harta kita akan semakin bersih dari hutang. Kalau harta kita juga ikut ‘bersih’ hingga tidak bersisa? Maka kita punya jiwa yang bersih dari hutang. Dan kita bisa mulai dari awal lagi. Bukankah itu jauh lebih mulia?

Dizaman modern seperti saat ini, sungguh tidak mudah untuk bisa membebaskan diri dari hutang. Sekalipun begitu, mari kita saling mendoakan agar kita semua diberi kekuatan untuk mengelola hutang dengan sebaik-baiknya, tanpa harus mengorbankan harga diri kita. Ada sebuah doa yang diajarkan oleh guru kehidupan saya. Doa itu berbunyi seperti ini; “Ya Allah, cukupkanlah diriku dengan yang halal dari-Mu. Cukupkanlah aku dengan karunia-Mu. Hingga aku tidak butuh lagi kepada siapapun selain Engkau….” Kata beliau, ini adalah doa yang diajarkan oleh Rasulullah kepada seseorang yang mengadukan tentang beban hutang yang sedang menderanya. Semoga, doa ini menjadi kekuatan bagi kita semua untuk menghadapi zaman yang penuh dengan godaan untuk berhutang. Beruntung, jika kita bisa terlepas dari hutang.

Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman - 15 Agustus 2011