Menikah ala Otak Kanan
Diposting oleh arifpemenang , Minggu, 26 Januari 2014 02.44
Tidak hanya pengusaha saja yang memakai otak kanan. Menikah
pun juga perlu menggunakan otak kanan. Saya bukan termasuk yang tidak punya
kenalan cewek. Pergaulan saya juga sangat luas. Saya juga bukanlah orang alim
dan ahli Al Qur’an. Ilmu saya tentang agama sangatlah minim. Tapi satu hal,
untuk menikah saya memilih untuk tidak pacaran. Saya memutuskan menikah melalui
proses yang diridhai oleh Allah.
Saya serahkan urusan masa depan kepada Allah. Allah yang
membuat semua kehidupan ini. Saya tidak peduli dengan trend yang ada sekarang
ini. Eits, menikah tanpa pacaran justru memerlukan perjuangan yang sangat panjang
lo. Ujiannya juga begitu besar. Saya akan menceritakan pengalaman saya tentang
proses menikah.
September 2012 saya menulis proposal curriculum vitae
tentang diri saya dan kemudian saya serahkan kepada ustadz saya. Tidak banyak
yang saya pikirkan pada saat itu. Saya pun belum member tahu kedua orang tua,
apa yang saya lakukan pada saat itu. Cukup
lama saya tidak mendapatkan respon tentang proposal itu dari ustadz. Saya juga
merasa tidak enak untuk menanyakan mengenai tindak lanjut proposal itu. Semua
berjalan apa adanya. Bisnis saya saat itu juga lagi bagus – bagusnya.
Alhamdulillah.
Januari 2013 ustadz saya memberikan sebuah amplop sepulang ngaji
di kantor saya. Dengan basmallah saya buka amplop tersebut dan ternyata isinya
adalah proposal seorang akhwat (perempuan). Formatnya seperti yang saya buat. Setelah
saya buka, pertama kali yang saya lihat adalah ibadahnya (terbukti setelah saya
menikah). Saat beliau suci, tidak pernah meninggalkan kewajiban sebagai hamba
Allah. Bahkan, sunnah seperti sholat tahajud, dhuha dan puasa senin kamis tidak
pernah ditinggalkan sejak SMP. Lanjut saya lihat pendidikan terakhir adalah
profesi apoteker di ubaya dan lagi menjalani perkuliahan S2 farmasi. Kemudian
saya lihat lainnya seperti keluarga yang religius dan berbagai aspek yang
lainnya.
Beberapa hari setelah saya menerima proposal itu, ustadz
menelepon “apakah saya mau meneruskan proses ta’aruf (perkenalan)?”. Setelah
saya sholat istikharah untuk memantapkan hati saya, saya bilang lanjut.
Alhamdulillah akhwat juga bersedia untuk tahap ta’aruf. Tahap ta’aruf dilakukan
pada hari minggu pada bulan februari 2013 pada pukul 06.00. Ta’aruf dihadiri
oleh 4 orang yang terdiri dari saya, sang akhwat, ustadz saya dan ustadzah sang
akhwat. Sang akhwat tersebut bernama Riris Rachmawati. Saya yang biasa cerewet
terasa mati kutu saat dicecar pertanyaan oleh sang akhwat. Seperti layaknya ujian, saya diminta untuk
membaca Al Qur’an. Sebagai tolak ukur apakah saya bisa membaca Al Qur’an atau
tidak. Ta’aruf berjalan selama 1 jam.
Saat menjelang pulang, ustadz membisik saya dengan
menanyakan apakah lanjut ke tahap berikutnya, yaitu menemui orang tua sang
akhwat. Tanpa berpikir panjang saya bilang lanjut. Alhamdulillah satu bulan
berikutnya saya mendapat jawaban yang sama dengan sang akhwat. Pada bulan Maret
2013 saya diminta untuk datang ke rumah sang akhwat sendirian, tanpa ditemani
seorangpun. Saya berusaha untuk menjadi lelaki yang sebenarnya. Bukan memacari
anak orang, tetapi langsung meminta anak orang untuk dinikahi. Pagi hari saya menuju ke rumah sang akhwat. Di tengah jalan
ternyata mobil saya mengalami cobaan ban kempes.
Susah payah akhirnya sampailah saya di rumah sang akhwat.
Alhamdulillah keluarga akhwat menerima dengan tangan terbuka. Ayahnya
membentenginya dengan tak akan pernah mengijinkan putrinya untuk pacaran.
Beliau juga bilang syarat utama agar bisa menikahi putri kesayangannya adalah
takut kepada Allah. Saya kaget, karena hanya itu syaratnya. Saya pikir mereka
akan menanyakan hal tentang pekerjaan, gaji, asset yang dipunyai dan lainnya. Ternyata
dugaan saya meleset. Sesuatu yang sederhana tapi sangat berat dilakukan. Takut
kepada Allah itu berarti sangat luas. Berarti ada yang perlu diubah dalam diri
saya dalam hal ibadah.
April 2013 saya memutuskan untuk silaturahmi bersama
keluarga besar. Begitu menjelang acara silaturahmi, saya memberanikan diri
untuk meminta restu kepada orang tua saya. Masih ada rasa kegetiran, karena
usia saya masih 23 tahun. Mungkin masih belum dianggap matang oleh orang tua.
Proses pernikahan juga tak seperti dilakukan di desa saya. Saya menceritakan tentang
proses menikah islami seperti film Ketika Cinta Bertasbih yang pernah ditonton
ibu. Untunglah beliau berdua menyetujui langkah yang saya lakukan. Saya bilang
kepada orang yang sangat saya cintai tersebut, bahwa saya mempunyai tekad untuk
menikah karena ingin menyempurnakan agama saya dihadapan Allah.
Siapa sangka, bahwa proses yang saya lakukan mendapat
cibiran dari keluarga besar yang memang dasarnya kejawen. Saya juga dicecar
berbagai pertanyaan tentang weton sang akhwat. Pilihan hari untuk silaturahmi
juga hari geblakan (meninggalnya sesepuh). Jadi banyak pakde – pakde yang tidak
mau hadir ke acara silaturahmi karena secara weton jelek untuk bepergian jauh.
Namun, kami tetap berangkat dengan jumlah keluarga seadanya.
Saya sepakat dengan bapak, bahwa tidak hanya silaturahmi
yang dilakukan, tetapi langsung lamaran. Mengingat jarak yang ditempuh cukup
jauh. Saya komunikasikan kepada sang akhwat melalui SMS. Alhamdulillah acara
lamaran berjalan dengan lancar. Banyak cobaan yang saya alami pada bulan –
bulan ini. Bisnis saya mengalami kerugian yang sangat banyak, tak pernah
terpikirkan sebelumnya. Banyak project yang berhenti. Subhanallah betapa berat cobaan
yang saya alami pada saat itu. Mulai hadir kebimbangan – kebimbangan
menyelimuti hati saya.
Pada bulan mei 2013, saya mendapat sms dari akhwat untuk
mengembalikan lamaran ke rumah. Menjelang keberangkatan saya ke Belanda untuk
belajar. Akhirnya kesepakatan, acara pengembalian lamaran dilakukan pada awal
juni 2013, sepulang saya dari negeri Belanda. Telah diputuskan akad nikah
dilakukan bulan Januari 2014. Banyak pertimbangan mengapa jarak antara lamaran
dan akad begitu lama waktunya. Allah mempunyai rencana yang begitu dahsyat,
seandainya saya menikah setelah Ramadhan, mungkin saya tidak punya apa – apa saat
itu. Alhamdulillah 3 bulan menjelang menikah, rejeki saya kembali mengalir.
Ibarat kran air yang usai diperbaiki.
Banyak yang menyangka proses yang saya lakukan sia – sia
karena pasti banyak interaksi antara saya dan sang akhwat. Sama aja dong sama
pacaran atau tunangan. Bagaimana saya interaksi kalau telpon saja saya tidak
boleh. SMS aja diharuskan tentang persiapan menikah, bukan yang lain. Apalagi
yang sifatnya berkhalwat. Alhamdulillah semua itu berhasil kami lalui hingga saya
mengucapkan qobiltu.
Orang – orang kampung membicarakan kami, model pernikahan
macam apa itu. Sudah lamaran, tapi saat lebaran gak dibawa pulang kampung. Calon
istri saya tidak pernah mau diajak salaman dengan orang yang bukan muhrimnya. Saat
akad saja, saya tidak didampingi oleh sang akhwat. Setelah saya mengucapkan
qobiltu, baru saya boleh menemui sang akhwat. Kami tetap pacaran, tapi pacaran
setelah menikah. Kami berkenalan lagi usai akad nikah. Layaknya remaja yang
dirundung asmara, tetapi dihiasi dengan ikatan yang suci. Banyak sesuatu yang
dilarang menjadi sunnah setelah selesai akad nikah.
Mungkin diantara kawan banyak yang terlalu memilih calon
pendamping hidupnya. Kecantikan, agama, kekayaan, pendidikan, pergaulan dan
lainnya harus perfect. Sehingga tak banyak juga yang gak dapet – dapet. Kalau
boleh saya sarankan, ketika ada seorang akhwat pilihlah satu saja di dalam
dirinya yang disukai. Dulu pertimbangan
saya adalah agama yang utama. Untuk harta bisa dicari bersama. Untuk kecantikan, saya yakin setiap wanita
mempunyai pesona sendiri. Untuk menentukan pendidikan, saya berpikir yang
penting akhlaknya. Keluarganya, yang penting bukan broken home. Alhamdulillah
saya mendapat bonus selain agamanya yang kuat. Istri saya juga berasal dari keluarga terhormat, punya
kecantikan yang membuat saya terpesona, pendidikan jauh lebih tinggi dari saya,
dan mempunyai ekonomi yang lebih dari cukup. Kalau dulu saya memikirkan
kelemahan saja, mungkin saat ini saya belum menikah. Alhamdulillah Allah
memberikan jalan yang terbaik. Artikel ini bukan bermaksud untuk menggurui dan
pamer. Insya Allah saya berniat untuk menginspirasi teman – teman, bahwa
menikah karena dengan cara islami itu terasa sangat nikmat.