Perjalanan Ramadhan tahun ini berbeda dari tahun – tahun sebelumnya.
Negeri tercinta ini mengalami proses pesta demokrasi Pilpres. Dua kandidat
mempunyai kekuatan yang seimbang, sehingga keadaan menjadi memanas. Orang -
orang dari berbagai profesi menjadi politikus dadakan. Menjadi politikus di
media sosial lebih tepatnya. Banyak website relawan atau pendukung Capres
bermunculan. Bahkan media komersial pun kini berpihak. Berbagai tautan kampanye
diunggah di halaman media sosial. Pokoknya tautan yang menyudutkan lawan
langsung saja diunggah tanpa dicerna informasinya. Facebook adalah media yang
paling ramai dengan adanya fenomena itu. Fasilitas berbagi tautan menjadi paling favourit karena bisa menyebarkan
berita.
Saya kira setelah tanggal 9 Juli 2014 media sosial akan
menjadi normal. Tetapi dugaan saya salah, ternyata keadaan semakin runyam. Perdebatan
malah lebih mengerikan. Pertemanan mungkin saja menjadi pudar akibat dari itu. Saya
menyimpulkan setelah tanggal 22 Juli 2014 belum tentu keadaan menjadi normal. Ada saja yang menjadi penyulut perpecahan. Semoga
kesimpulan saya tidak benar.
Bukan hanya itu saja, bahkan ulama pun menjadi sasaran. Layaknya
Tuhan, banyak pengguna facebook mengkafirkan dan mensyiahkan orang tanpa
tabayyun dahulu. Berbeda pendapat itu boleh tapi bukan menghakimi. Pembela sang
ulama pun gak kalah culas dengan ikut – ikutan menghujat tanpa menggunakan
ilmu. Fitnah menjadi bertebaran dimana – mana. Akhirnya terjadi debat kusir yang
bisa menghancurkan ukhuwah kita.
Setiap manusia itu mempunyai sudut pandang yang berbeda.
Jadi kita juga tak bisa membandingkan antara satu dengan lainnya. Seperti
Rasulullah mengijinkan Abu Bakar As Sidiq menginfakkan semua hartanya,
sedangkan Rasulullah tidak mengijinkan Zaid Ibn Abi Waqqash melakukan seperti
Abu Bakar, akan tetapi hanya diperbolehkan menginfakkan sepertiga hartanya
saja. Rasulullah mengetahui kemampuan sahabatnya sehingga tidak memaksakan
kehendak dengan memperlakukan sama.
Saya mungkin berbeda dengan teman – teman yang bisa
menanggapi santai terhadap link – link yang tidak sependapat dengannya. Saya
termasuk orang yang mudah tersulut emosi. Saya tidak terima ada akun yang menjelekkan orang
yang membantu Gaza. Waktu yang harusnya saya gunakan untuk memadu kasih dengan
Sang Pencipta, habis saya gunakan untuk
berdebat. Parahnya lagi, saat sholat, saya masih saja berpikir untuk menemukan
jawaban debat. Apalagi menggunakan ayat suci untuk memenangkan debat, bukan
untuk mengingatkan saudaranya. Astagfirullah.
Wahai akhi wahai ukhti, kalian tetaplah saudaraku walaupun
kita berbeda. Maafkan saya yang mungkin saja telah menyakiti kalian, dan
tentunya saya juga memaafkan kalian biar tidak ada beban di hati ini. Sangat
disayangkan kalau di bulan Ramadhan ini hati kita menjadi kotor. Di sepuluh
malam terakhir ini lebih baik dimanfaatkan untuk ibadah dan mengejar Lailatul
Qodar. Di sepuluh malam terakhir saya akan libur membuka facebook agar hati ini
tidak terkotori dengan fitnah – fitnah yang bertebaran di media sosial ini.
Siapapun presidennya semoga bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Sampai
jumpa setelah lebaran. Mohon maaf lahir dan batin.
Sudah 6 bulan kita bersama dalam ikatan suci. Selama itu pula kita
hidup bersama dalam suka maupun duka. Semula tak saling mengenal dan
sekarang semakin saling memahami di antara kita. Maafkan aku istriku,
yang selalu menuntutmu untuk sempurna. Padahal tak ada di dunia ini yang
sempurna selain Allah SWT.
Di luar sana, banyak lelaki yang lebih baik akhlaknya, lebih kaya
hartanya, lebih cerdas pikirannya, lebih rajin ibadahnya, lebih rupawan
wajahnya apabila dibandingkan dengan aku. Mungkin di antara mereka ada
yang ingin meminangmu. Tapi apa yang terjadi, kamu telah memilih aku
dengan segala kekurangan dan kelebihan yang ada di dalam diriku.
Terima kasih istriku, engkau telah selalu membangunkanku dari tidur
nyenyakku untuk menjalankan ibadah Qiyyamul Lail, kemudian dilanjutkan
dengan Sholat Subuh berjamaah di Masjid. Mengingatkan untuk selalu
membaca Al Qur’an seusai Sholat Subuh. Menyiapkan baju kerja sambil
menata leher kemejaku. Memasukkan peralatan kerja yang berserakan ke
dalam tasku dengan rapinya. Tak lupa mengingatkan untuk Sholat Dhuha
sebelum berangkat kerja. Seusai Sholat Dhuha makanan sudah disiapkan di
meja agar suaminya tidak kelaparan. Melepaskan kepergian suaminya dengan
mengantarkan suaminya ke pintu depan sambil senyum mengembang.
Terima kasih istriku, engkau menyatakan kesanggupan untuk mengandung
putra dan putriku kelak. Akupun mungkin tak mampu menggantikan
kedudukanmu. Sungguh engkau sangat mulia di sisi Allah. Aku tak pernah
tahu betapa beratnya mengandung. Dengan berbagai keluhan rasa sakit yang
mungkin tidak akan dirasakan oleh lelaki manapun di dunia ini. Di
tengah – tengah rasa sakitmu selalu engkau lantunkan ayat – ayat suci Al
Qur’an agar kelak anak kita menjadi pecinta dan penghapal Al Qur’an.
Di tengah – tengah kesakitanmu, engkau masih sanggup untuk bangun
lebih awal menjalankan ibadah Qiyyamul Lail. Berdzikir dengan tenangnya
dan mendoakan orang - orang yang engkau sayangi agar terbebas dari
ancaman neraka. Tak pernah jenuh berjam – jam membaca Al Qur’an dan
selalu menyempatkan untuk menghapal ayat suci itu. Juga masih memikirkan
belajar ilmu duniawi dalam perkuliahanmu. Keperluan suamimu juga tak
pernah ketinggalan engkau siapkan.
Selamat ulang tahun istriku yang tercinta, semoga Allah semakin
menyayangimu dengan seiring bertambah umurmu. Semoga kehidupan keluarga
kita sakinah, mawwadah dan warrahmah. Aku hanya bisa menuliskan surat
cinta ini kepadamu. Aku publikasikan agar menginspirasi para suami, agar
mereka tahu, bahwa betapa beratnya menjadi seorang istri. Agar lelaki
di dunia ini tidak menyia – nyiakan istrinya. Bawalah istrimu ke jalan
menuju Bahtera Surga.
By Arif Pemenang
Tidak hanya pengusaha saja yang memakai otak kanan. Menikah
pun juga perlu menggunakan otak kanan. Saya bukan termasuk yang tidak punya
kenalan cewek. Pergaulan saya juga sangat luas. Saya juga bukanlah orang alim
dan ahli Al Qur’an. Ilmu saya tentang agama sangatlah minim. Tapi satu hal,
untuk menikah saya memilih untuk tidak pacaran. Saya memutuskan menikah melalui
proses yang diridhai oleh Allah.
Saya serahkan urusan masa depan kepada Allah. Allah yang
membuat semua kehidupan ini. Saya tidak peduli dengan trend yang ada sekarang
ini. Eits, menikah tanpa pacaran justru memerlukan perjuangan yang sangat panjang
lo. Ujiannya juga begitu besar. Saya akan menceritakan pengalaman saya tentang
proses menikah.
September 2012 saya menulis proposal curriculum vitae
tentang diri saya dan kemudian saya serahkan kepada ustadz saya. Tidak banyak
yang saya pikirkan pada saat itu. Saya pun belum member tahu kedua orang tua,
apa yang saya lakukan pada saat itu. Cukup
lama saya tidak mendapatkan respon tentang proposal itu dari ustadz. Saya juga
merasa tidak enak untuk menanyakan mengenai tindak lanjut proposal itu. Semua
berjalan apa adanya. Bisnis saya saat itu juga lagi bagus – bagusnya.
Alhamdulillah.
Januari 2013 ustadz saya memberikan sebuah amplop sepulang ngaji
di kantor saya. Dengan basmallah saya buka amplop tersebut dan ternyata isinya
adalah proposal seorang akhwat (perempuan). Formatnya seperti yang saya buat. Setelah
saya buka, pertama kali yang saya lihat adalah ibadahnya (terbukti setelah saya
menikah). Saat beliau suci, tidak pernah meninggalkan kewajiban sebagai hamba
Allah. Bahkan, sunnah seperti sholat tahajud, dhuha dan puasa senin kamis tidak
pernah ditinggalkan sejak SMP. Lanjut saya lihat pendidikan terakhir adalah
profesi apoteker di ubaya dan lagi menjalani perkuliahan S2 farmasi. Kemudian
saya lihat lainnya seperti keluarga yang religius dan berbagai aspek yang
lainnya.
Beberapa hari setelah saya menerima proposal itu, ustadz
menelepon “apakah saya mau meneruskan proses ta’aruf (perkenalan)?”. Setelah
saya sholat istikharah untuk memantapkan hati saya, saya bilang lanjut.
Alhamdulillah akhwat juga bersedia untuk tahap ta’aruf. Tahap ta’aruf dilakukan
pada hari minggu pada bulan februari 2013 pada pukul 06.00. Ta’aruf dihadiri
oleh 4 orang yang terdiri dari saya, sang akhwat, ustadz saya dan ustadzah sang
akhwat. Sang akhwat tersebut bernama Riris Rachmawati. Saya yang biasa cerewet
terasa mati kutu saat dicecar pertanyaan oleh sang akhwat. Seperti layaknya ujian, saya diminta untuk
membaca Al Qur’an. Sebagai tolak ukur apakah saya bisa membaca Al Qur’an atau
tidak. Ta’aruf berjalan selama 1 jam.
Saat menjelang pulang, ustadz membisik saya dengan
menanyakan apakah lanjut ke tahap berikutnya, yaitu menemui orang tua sang
akhwat. Tanpa berpikir panjang saya bilang lanjut. Alhamdulillah satu bulan
berikutnya saya mendapat jawaban yang sama dengan sang akhwat. Pada bulan Maret
2013 saya diminta untuk datang ke rumah sang akhwat sendirian, tanpa ditemani
seorangpun. Saya berusaha untuk menjadi lelaki yang sebenarnya. Bukan memacari
anak orang, tetapi langsung meminta anak orang untuk dinikahi. Pagi hari saya menuju ke rumah sang akhwat. Di tengah jalan
ternyata mobil saya mengalami cobaan ban kempes.
Susah payah akhirnya sampailah saya di rumah sang akhwat.
Alhamdulillah keluarga akhwat menerima dengan tangan terbuka. Ayahnya
membentenginya dengan tak akan pernah mengijinkan putrinya untuk pacaran.
Beliau juga bilang syarat utama agar bisa menikahi putri kesayangannya adalah
takut kepada Allah. Saya kaget, karena hanya itu syaratnya. Saya pikir mereka
akan menanyakan hal tentang pekerjaan, gaji, asset yang dipunyai dan lainnya. Ternyata
dugaan saya meleset. Sesuatu yang sederhana tapi sangat berat dilakukan. Takut
kepada Allah itu berarti sangat luas. Berarti ada yang perlu diubah dalam diri
saya dalam hal ibadah.
April 2013 saya memutuskan untuk silaturahmi bersama
keluarga besar. Begitu menjelang acara silaturahmi, saya memberanikan diri
untuk meminta restu kepada orang tua saya. Masih ada rasa kegetiran, karena
usia saya masih 23 tahun. Mungkin masih belum dianggap matang oleh orang tua.
Proses pernikahan juga tak seperti dilakukan di desa saya. Saya menceritakan tentang
proses menikah islami seperti film Ketika Cinta Bertasbih yang pernah ditonton
ibu. Untunglah beliau berdua menyetujui langkah yang saya lakukan. Saya bilang
kepada orang yang sangat saya cintai tersebut, bahwa saya mempunyai tekad untuk
menikah karena ingin menyempurnakan agama saya dihadapan Allah.
Siapa sangka, bahwa proses yang saya lakukan mendapat
cibiran dari keluarga besar yang memang dasarnya kejawen. Saya juga dicecar
berbagai pertanyaan tentang weton sang akhwat. Pilihan hari untuk silaturahmi
juga hari geblakan (meninggalnya sesepuh). Jadi banyak pakde – pakde yang tidak
mau hadir ke acara silaturahmi karena secara weton jelek untuk bepergian jauh.
Namun, kami tetap berangkat dengan jumlah keluarga seadanya.
Saya sepakat dengan bapak, bahwa tidak hanya silaturahmi
yang dilakukan, tetapi langsung lamaran. Mengingat jarak yang ditempuh cukup
jauh. Saya komunikasikan kepada sang akhwat melalui SMS. Alhamdulillah acara
lamaran berjalan dengan lancar. Banyak cobaan yang saya alami pada bulan –
bulan ini. Bisnis saya mengalami kerugian yang sangat banyak, tak pernah
terpikirkan sebelumnya. Banyak project yang berhenti. Subhanallah betapa berat cobaan
yang saya alami pada saat itu. Mulai hadir kebimbangan – kebimbangan
menyelimuti hati saya.
Pada bulan mei 2013, saya mendapat sms dari akhwat untuk
mengembalikan lamaran ke rumah. Menjelang keberangkatan saya ke Belanda untuk
belajar. Akhirnya kesepakatan, acara pengembalian lamaran dilakukan pada awal
juni 2013, sepulang saya dari negeri Belanda. Telah diputuskan akad nikah
dilakukan bulan Januari 2014. Banyak pertimbangan mengapa jarak antara lamaran
dan akad begitu lama waktunya. Allah mempunyai rencana yang begitu dahsyat,
seandainya saya menikah setelah Ramadhan, mungkin saya tidak punya apa – apa saat
itu. Alhamdulillah 3 bulan menjelang menikah, rejeki saya kembali mengalir.
Ibarat kran air yang usai diperbaiki.
Banyak yang menyangka proses yang saya lakukan sia – sia
karena pasti banyak interaksi antara saya dan sang akhwat. Sama aja dong sama
pacaran atau tunangan. Bagaimana saya interaksi kalau telpon saja saya tidak
boleh. SMS aja diharuskan tentang persiapan menikah, bukan yang lain. Apalagi
yang sifatnya berkhalwat. Alhamdulillah semua itu berhasil kami lalui hingga saya
mengucapkan qobiltu.
Orang – orang kampung membicarakan kami, model pernikahan
macam apa itu. Sudah lamaran, tapi saat lebaran gak dibawa pulang kampung. Calon
istri saya tidak pernah mau diajak salaman dengan orang yang bukan muhrimnya. Saat
akad saja, saya tidak didampingi oleh sang akhwat. Setelah saya mengucapkan
qobiltu, baru saya boleh menemui sang akhwat. Kami tetap pacaran, tapi pacaran
setelah menikah. Kami berkenalan lagi usai akad nikah. Layaknya remaja yang
dirundung asmara, tetapi dihiasi dengan ikatan yang suci. Banyak sesuatu yang
dilarang menjadi sunnah setelah selesai akad nikah.
Mungkin diantara kawan banyak yang terlalu memilih calon
pendamping hidupnya. Kecantikan, agama, kekayaan, pendidikan, pergaulan dan
lainnya harus perfect. Sehingga tak banyak juga yang gak dapet – dapet. Kalau
boleh saya sarankan, ketika ada seorang akhwat pilihlah satu saja di dalam
dirinya yang disukai. Dulu pertimbangan
saya adalah agama yang utama. Untuk harta bisa dicari bersama. Untuk kecantikan, saya yakin setiap wanita
mempunyai pesona sendiri. Untuk menentukan pendidikan, saya berpikir yang
penting akhlaknya. Keluarganya, yang penting bukan broken home. Alhamdulillah
saya mendapat bonus selain agamanya yang kuat. Istri saya juga berasal dari keluarga terhormat, punya
kecantikan yang membuat saya terpesona, pendidikan jauh lebih tinggi dari saya,
dan mempunyai ekonomi yang lebih dari cukup. Kalau dulu saya memikirkan
kelemahan saja, mungkin saat ini saya belum menikah. Alhamdulillah Allah
memberikan jalan yang terbaik. Artikel ini bukan bermaksud untuk menggurui dan
pamer. Insya Allah saya berniat untuk menginspirasi teman – teman, bahwa
menikah karena dengan cara islami itu terasa sangat nikmat.